Powered By Blogger

Translate

Rabu, 16 Maret 2016

Download Biologi Campbell Edisi 9

“Biologi Campbell” tentunya tidak asing lagi bagi para pecinta biologi.Buku ini dapat membantu kita meningkatkan rasa ingin kita menjadi seorang ilmuan.tentu saja,edisi terbaru ini saya posting gratis untuk agan-agan.Saya harap dapat berguna.Sebenarnya sulit sekali mendapat e-book biologi campbell dengan bahasa pengantar indonesia,sehingga yang dapat saya posting di sini adalah biologi campbell dengan versi “english”.Saya yakin agan-agan sudah menguasai bahasa inggris,jadi saya pikir tidak masalah.Sebagai catatan,bahasanya tidak terlalu rumit dan tentu saja mudah dipahami.Dengan buku ini,kita akan mendapat pengetahuan seputar cara-cara seorang ilmuwan melakukan eksperimen untuk menguji hipotesisnya sehingga dapat menarik kesimpulan berupa teori-teori yang sudah diringkas dan kita pelajari di bangku SMA,SMP,maupun SD,dan metode-metode yang ilmuwan gunakan betul-betul unik dan menarik.Nah,kali ini saya akan membagi buku ini secara gratis dan semoga dapat bermanfaat.
Download Biology Campbell ( Link Mediafire ) :
1)      Part 1 download disini
2)      Part 2 download disini
PENTING LHO : Setelah anda selesai mendownload , ekstrak  part 1 tadi menggunakan winrar , maka secara otomatis part 2 juga ikut diekstrak.Selesai!Selamat Belajar :)!

Rabu, 09 Maret 2016

Budaya Arab: Agama Bangsa Arab Sebelum Islam

Pada saat Islam masuk di Jazirah Arab, di zaman Nabi Ibrahim ﷺ, akhlak mulia tersebar. Penduduk lembah Mekah mengenal tauhid dan jauhi dari syirik. Kemudian waktu terus berlalu, keimanan pun tergerus budaya dan pemikiran. Masuklah berhala-berhala ke Ka’bah yang suci. Agama Nabi Ibrahim hanya dipegang sebagian kecil masyarakat.
 
Sejarah Masuknya dan Tersebarnya Berhala di Jazirah Arab
Beberapa masa setelah wafatnya Nabi Ibrahim dan Ismail, terjadi perubahan besar di tanah Mekah. Agama tauhid tergerus oleh ombak kesyirikan. Penduduk tanah suci di sekitar Baitullah al-Haram menjadi penyembah berhala.

Pelajaran bagi kita umat Islam di Indonesia, tauhid yang dibawa oleh para rasul, dan bertempat di tanah suci, bisa berganti menjadi agama pagan penyembah berhala. Tidak ada yang menjamin negeri ini, Indonesia, akan selamanya menjadi negeri mayoritas umat Islam, kalau kita tidak mengkaji agama ini kemudian mendakwahkannya.

Perubahan besar di Jazirah Arab itu dibawa oleh tokoh kabilah Khuza’ah, Amr bin Luhai al-Khuza’i. Ia adalah pemimpin politik dan agama di Mekah. Ia dicintai dan disegani masyarakat. Penduduk Mekah menganggapnya sebagai ulama besar dan wali yang mulia. Amr pernah bersafar ke Syam. Ia melihat penduduk Syam menyembah patung-patung. Dan ia terkesan. Saat kembali ke Mekah, ia bawa tradisi Syam ini ke tanah haram. Masuklah berhala Hubal ke Jazirah Arab, dan ditempatkan di sisi Ka’bah.

Diriwayatkan bahwa Hubal terbuat dari batu akik merah yang berbentuk manusia. Orang-orang Quraisy mendapati tangan kanan Hubal telah hancur. Lalu mereka ganti dengan tangan dari emas. Inilah berhala pertama orang-orang musyrik, yang paling besar, dan paling suci menurut mereka1.

Setelah Hubal, tanah Mekah berangsur-angsur disesaki berhala. Di antara berhala-berhala besar mereka adalah: Manat2 yang disembah Kabilah Hudzail dan Khuza’ah. Berhala ini termasuk berhala tertua. Terletak di pantai Laut Merah. Di wilayah al-Musyallal3, di Qudaid. Kemudian ada Latta. Berhalanya orang-orang Thaif. Dan al-Uzza, berhala termuda namun yang terbesar dari dua berhala sebelumnya. Berhala ini disembah oleh orang-orang Quraisy dan kabilah-kabilah lainnya4. Tiga berhala ini –selain Hubal- adalah berhala terbesar masyarakat Arab. 

Kemudian kesyirikan semakin tersebar dan berhala pun semakin bertebaran.
Setelah Amr bin Luhai berhasil digoda gandrung dengan berhala, setan pun memainkan perannya di babak berikutnya. Mereka memberi wangsit kepada Amr5. Memberitakannya bahwa berhala kaum Nuh –Wud, Suwa’, Yaghuts, Yauq, Nasr- terkubur di Jeddah. Amr datang ke sana, kemudian menggalinya. Ketika jamaah haji datang dari berbagai negeri, ia berikan berhala-berhala itu pada mereka. Hadiah dari penguasa Mekah, tanah suci tempat berhaji tentulah istimewa bagi mereka.

Berhala Wud diberikan pada kabilah Kalb penduduk Daumatul Jandal. Suwa’ diserahkan pada Hudzail bin Mudrikah yang tinggal di Ruhath, wilayah Hijaz. Yaghuts untuk bani Uthaif keturunan bani Murad yang tinggal di Jurf dekat Saba’. Yauq diberikan kepada orang-orang Hamadan di wilayh Khaiwan di Yaman. Dan Nasr untuk keluarga Dzi al-Kila’ di wilayah Hamir. Kemudian mereka membuatkan kuil untuk berhala-berhala ini. Mereka mengangungkannya sebagaimana mengagungkan Ka’bah. Walaupun mereka berkeyakinan Ka’bah lah yang lebih utama6.

Dakwah Amr bin Luhai kian tersebar di Jazirah. Kabilah-kabilah lainnya meniru apa yang dilakukannya. Mereka menjadikan patung sebagai sesembahan. Membangunkannya kuil. Dan memberinya nama-nama7.

Walaupun berhala kian marak, namun masyarakat Arab tetap mengagungkan Ka’bah. Mereka pula yang menaruh berhala-berhala mereka di sekeliling Ka’bah.

Apakah Arab Beriman Kepada Allah?
Puja-puji terhadap patung berhala telah menjadi agama dan budaya masyarakat Arab. Meski demikian, tidak sedikit pun mereka meyakini bahwa berhala-berhala itu yang menciptakan mereka dan alam semesta. Mereka yakin Allah ﷻ lah sang pecipta. Banyak ayat Alquran yang menjelaskan hal ini.

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).” (QS:Al-‘Ankabuut | Ayat: 61).

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللهُ قُلِ الْحَمْدُ للهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”. Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS:Luqman | Ayat: 25).

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)? (QS:Az-Zukhruf | Ayat: 87).

Namun setan membisiki bahwa berhala-berhala itulah yang mendekatkan diri mereka kepada Allah ﷻ. Berhala itu menjadi perantara antara mereka dengan Allah.

أَلاَ للهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاَّ لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللهِ زُلْفَى إِنَّ اللهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (QS:Az-Zumar | Ayat: 3).

Ayat ini dengan tegas menjelaskan, orang-orang Arab jahiliyah beriman kepada Allahﷻ. tapi mereka campuri keimanan itu dengan kesyirikan. Mereka menyembah Allah, dan juga menyembah berhala. Dari sini kita dapat memahami bahwa mengagungkan orang-orang shaleh secara berlebihan, lalu menjadikan mereka perantara dalam beribadah kepada Allah ﷻ adalah tradisi masyarakat Arab jahilihay (budaya Arab).

Arab Telah Mengenal Jin dan Setan
Orang-orang Arab jahiliyah telah mengenal jin dan setan. Pada masa itu setan-setan berkumpul antara bukit Shafa dan Marwa. Abdullah bin al-Abbas radhiallahu ‘anhuma ketika menafsirkan ayat,
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ 

“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syiar Allah.” (QS:Al-Baqarah | Ayat: 158)
mengatakan, “Di masa jahiliyah, setan-setan berkumpul di malam hari antara bukit Shafa dan Marwa. Di antara dua bukit itulah terdapat berhala-berhala orang-orang musyrik. Saat Islam datang, kaum muslimin mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, kami tidak mau sa’i antara Shafa dan Marwa. Karena dulu kami melakukan sesuatu (syirik) di sana saat jahiliyah’. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya,

فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا
“Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa´i antara keduanya.” (QS:Al-Baqarah | Ayat: 158).

Tidak berdosa, ibadah di sana berpahala8. Para sahabat takut kalau mereka teringat dosa-dosa lama. Kemudian Allah menenangkan hati mereka dengan menjelaskan keutamaan beribadah di antara Shafa dan Marwa.

Orang-orang jahiliyah berinteraksi dengan jin. Seperti memohon perlindungan kepada mereka.
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS:Al-Jin | Ayat: 6).

Budaya Arab ini juga memiliki kesamaan dengan kultur local Indonesia. Para orang tua sering mengajarkan anak-anak mereka yang main di tempat-tempat sepi untuk mohon izin dulu dengan “penunggu-penunggu” di sana apabila hendak buang air kecil atau besar, atau sekadar bermain di sana. Bukan berlindung kepada Allah ﷻ.

وَجَعَلُوا للهِ شُرَكَاءَ الْجِنَّ وَخَلَقَهُمْ
“Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu.” (QS:Al-An’am | Ayat: 100).

Dunia Perdukunan
Di Madinah –yang dulu bernama Yatsrib- ada seorang dukun wanita yang terkenal. Sebagian penduduk Madinah mengetahui kedatangan Nabi ﷺ melalui kabar dari sang dukun. Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu mengatakan,

أَوَّلُ خَبَرٍ جَاءَنَا بِالْمَدِينَةِ مَبْعَثَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنَّ امْرَأَةً مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ كَانَ لَهَا تَابِعٌ مِنَ الْجِنِّ، جَاءَ فِي صُورَةِ طَيْرٍ، حَتَّى وَقَعَ عَلَى جِذْعٍ لَهُمْ، فَقَالَتْ لَهُ: أَلاَ تَنْزِلُ إِلَيْنَا فَتُحَدِّثُنَا، ونُحَدِّثُكَ، وتُحَذِّرُنَا ونُحَذِّرُكَ؟ فَقَالَ: لاَ، إِنَّهُ قَدْ بُعِثَ بِمَكَّةَ نَبِيٌّ حَرَّمَ الزِّنَى، وَمَنَعَ مِنَّا الْقَرَارَ
“Kami mendapatkan kabar pertama kali tentang diutusnya Rasulullah ﷺ dari seorang dukun perempuan penduduk Madinah. Ia memiliki pengikut dari bangsa jin9. Jin tersebut datang dalam wujud seekor burung. Lalu hinggap di salah satu dahan. Wanita itu berkata pada burung, ‘Adakah berita untuk kami sehingga bisa engkau sampaikan dan kami juga berkisah padamu. Engkau memperingatkan kami –dengan berita tersebut-, kami juga memperingatkanmu?’ Burung itu menjawab, ‘Tidak, hanya saja telah diutus seorang nabi di Mekah yang mengharamkan zina dan melarang al-Qarar10.”11

Masyarakat jahiliyah biasa minta pendapat para dukun. Ibnu Juraij menafsirkan ayat:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ
“Barangsiapa kufur kepada thaghut.” (QS:Al-Baqarah | Ayat: 256).
Menurutnya thaghut dalam kalimat tersebut adalah dukun yang mendapat bisikan setan. Mereka memberi wangsit pada lisan dan hati para dukun12.

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha bertanya kepada Rasulullah ﷺ,
يا رسول الله إنَّ الكهَّان كانوا يُحَدِّثُونَنَا بالشَّيء فنجده حقًّا. قال: “تِلْكَ الْكَلِمَةُ الْحَقُّ، يَخْطَفُهَا الْجِنِّيُّ فَيَقْذِفُهَا فِي أُذُنِ وَلِيِّهِ، وَيَزِيدُ فِيهَا مِائَةَ كَذْبَةٍ
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya para dukun menyampaikan sesuatu kepada kami begini dan begitu. Dan kadang kami lihat kenyataannya memang benar.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Kata-kata yang benar itu ditangkap oleh bangsa jin, lalu dibisikkannya ke telinga tukang tenung (dekun) dan ditambahkan ke dalamnya dengan seratus kedustaan.”13

Perdukunan saat itu benar-benar tersebar dan membudaya. Sampai ada sebagian orang berprofesi jadi dukun palsu. Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,

كَانَ لِأَبِي بَكْرٍ غُلَامٌ يُخْرِجُ لَهُ الْخَرَاجَ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يَأْكُلُ مِنْ خَرَاجِهِ فَجَاءَ يَوْمًا بِشَيْءٍ فَأَكَلَ مِنْهُ أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ لَهُ الْغُلَامُ أَتَدْرِي مَا هَذَا فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ وَمَا هُوَ قَالَ كُنْتُ تَكَهَّنْتُ لِإِنْسَانٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَمَا أُحْسِنُ الْكِهَانَةَ إِلَّا أَنِّي خَدَعْتُهُ فَلَقِيَنِي فَأَعْطَانِي بِذَلِكَ فَهَذَا الَّذِي أَكَلْتَ مِنْهُ فَأَدْخَلَ أَبُو بَكْرٍ يَدَهُ فَقَاءَ كُلَّ شَيْءٍ فِي بَطْنِهِ
“Abu Bakar Ash Shiddiq memiliki budak laki-laki yang senantiasa mengeluarkan kharraj14 padanya. Abu Bakar biasa makan dari kharraj itu. Pada suatu hari ia datang dengan sesuatu, yang akhirnya Abu Bakar makan darinya. Tiba-tiba sang budak berkata: ‘Apakah anda tahu dari mana makanan ini?’. Abu Bakar bertanya : ‘Dari mana?’ Ia menjawab : ‘Dulu pada masa jahiliyah aku pernah menjadi dukun yang menyembuhkan orang. Padahal bukannya aku pandai berdukun, namun aku hanya menipunya. Lalu si pasien itu menemuiku dan memberi imbalan buatku. Nah, yang anda makan saat ini adalah hasil dari upah itu. Akhirnya Abu Bakar memasukkan tangannya ke dalam mulutnya hingga keluarlah semua yang ia makan.”15

Abdullah bin al-Abbas berkata,
مَا قَرَأَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى الْجِنِّ وَمَا رَآهُمُ، انْطَلَقَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي طَائِفَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ عَامِدِينَ إِلَى سوق عكاظ وَقَدْ حِيلَ بَيْنَ الشَّيَاطِينِ وَبَيْنَ خَبَرِ السَّمَاءِ. وَأُرْسِلَتْ عَلَيْهِمُ الشُّهُبُ. فَرَجَعَتِ الشَّيَاطِينُ إِلَى قَوْمِهِمْ فَقَالُوا: مَا لَكُمْ. قَالُوا: حِيلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَ خَبَرِ السَّمَاءِ وَأُرْسِلَتْ عَلَيْنَا الشُّهُبُ. قَالُوا: مَا ذَاكَ إِلاَّ مِنْ شَيْءٍ حَدَثَ، فَاضْرِبُوا مَشَارِقَ الأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا، فَانْظُرُوا مَا هَذَا الَّذِي حَالَ بَيْنَنَا وَبَيْنَ خَبَرِ السَّمَاءِ. فَانْطَلَقُوا يَضْرِبُونَ مَشَارِقَ الأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا، فَمَرَّ النَّفَرُ الَّذِينَ أَخَذُوا نَحْوَ تِهَامَةَ -وَهُوَ بِنَخْلٍ عَامِدِينَ إِلَى سُوقِ عُكَاظٍ وَهُوَ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ صَلاَةَ الْفَجْرِ- فَلَمَّا سَمِعُوا الْقُرْآنَ اسْتَمَعُوا لَهُ، وَقَالُوا: هَذَا الَّذِي حَالَ بَيْنَنَا وَبَيْنَ خَبَرِ السَّمَاءِ. فَرَجَعُوا إِلَى قَوْمِهِمْ، فَقَالُوا: يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَلَنْ نُشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا. فَأَنْزَلَ اللهُ تعالى عَلَى نَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم: {قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ} [الجن: 1]
“Rasulullah ﷺ tidak membacakan Alquran kepada jin dan tidak pula melihat mereka. Rasulullah ﷺ pernah pergi bersama sejumlah shahabat menuju Pasar Ukazh16. Sementara itu setan-setan telah dihalangi mendapatkan berita dari langit dengan dilemparkan kepada mereka asy-syihab (meteor).

Setan-setan tadi kembali kepada kaumnya, dan kaumnya itu bertanya, ‘Ada apa dengan kalian?’ Mereka menjawab, ‘Kami telah dihalangi memperoleh berita dari langit, dan kami pun dilempari dengan asy-syihab’. Kaum mereka berkata, ‘Tidak ada yang menghalangi kalian memperoleh berita langit kecuali sesuatu telah terjadi. Pergilah kalian ke arah penjuru timur dan barat bumi. Lihatlah apa yang menghalangi kalian memperoleh berita dari langit’.

Mereka pun beranjak pergi ke timur dan barat. Sebagian di antaranya melewati Tihamah dan bertemu dengan Nabi ﷺ yang ketika berada di Nikhlah dalam perjalanan menuju Pasar Ukazh. Beliau ketika itu sedang melaksanakan shalat subuh bersama para shahabatnya. Ketika mereka mendengar Alquran dibacakan, mereka pun benar-benar memperhatikannya, seraya berkata, ‘Inilah yang telah menghalangi kita untuk mendapatkan berita dari langit”.

Mereka kembali menemui kaumnya. Mereka berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya kami telah mendengarkan Alquran yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorang pun dengan Tuhan kami’. Maka Allah pun menurunkan kepada Nabi-Nya Muhammad ﷺ: “Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Alquran),…” (QS. Al-Jin : 1)17.

Zaid bin Amr bin Nufail
Di tengah pekatnya kabut kesyirikan masayarakat Arab, tersisa beberapa gelintir orang yang masih memurnikan agama Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Di antaranya Zaid bin Amr bin Nufail. Zaid tak mampu mendakwahi dan menyerukan agama yang lurus di tengah pemuka kekufuran Quraisy. Ia hanya mampu mengkritik sembelihan-sembeliahan (kurban) mereka. Dan mengikari kesyirikan yang mereka lakukan. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma bahwasanya Zaid bin Amr bin Nufail mengatakan,

إِنِّي لَسْتُ آكُلُ مِمَّا تَذْبَحُونَ عَلَى أَنْصَابِكُمْ، وَلاَ آكُلُ إِلاَّ مَا ذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ.
“Aku tidak memakan apa yang kalian sembelih (sebagai persembahan) untuk berhala kalian. Aku juga tidak memakan sesuatu yang disembelih tanpa menyebut nama Allah.”
Zaid bin Amr mencela sesembelihan Quraisy,
وَأَنَّ زَيْدَ بْنَ عَمْرٍو كَانَ يَعِيبُ عَلَى قُرَيْشٍ ذَبَائِحَهُمْ، وَيَقُولُ: الشَّاةُ خَلَقَهَا اللهُ، وَأَنْزَلَ لَهَا مِنَ السَّمَاءِ المَاءَ، وَأَنْبَتَ لَهَا مِنَ الأَرْضِ، ثُمَّ تَذْبَحُونَهَا عَلَى غَيْرِ اسْمِ اللهِ. إِنْكَارًا لِذَلِكَ وَإِعْظَامًا لَهُ
“Kambing ini, Allah yang ciptakan. Dia turunkan air dari langit untuknya. Juga menumbuhkan tetumbuhan dari bumi (untuk makanannya). Kemudian kalian sembelih tanpa menyebut nama-Nya?!” Zaid mengingkari perbuatan mereka sebagai bentuk pengagungan terhadap Allah18.

Orang-orang Quraisy tidak mempedulikan Zaid. Karena menurut mereka yang dia lakukan tidak mengganggu kehidupan dan ibadah mereka. Atau mereka sengaja tidak mempedulikannya untuk mengejeknya dan merendahkannya.

Selain Zaid, juga ada Waraqah bin Naufal. Seorang yang mengimani risalah Nabi Isa ‘alaihissalam. namun tidak didapati riwayat ia mendakwahkan apa yang diajarkan Nabi Isa ‘alaihissalam. Atau membicarakannya di tengah-tengah keluarganya dari kalangan Quraisy.

Demikianlah gambaran kondisi agama bangsa Arab sebelum diutusnya Nabi Muhammad ﷺ. Dakwah tauhid padam. Agama para nabi samar-samar disuarakan. Karena itu, hampir tidak ditemui persinggungan (friksi) antara orang-orang yang bertauhid dengan pemuja kesyirikan.

Dalam keadaan tersebut terdapat segelintir orang yang masih berpegang pada ajaran rasul sebelumnya. Ajaran Nabi Ibrahim dan Nabi Isa ‘alaihimassalam. Mereka yang tersisa ini tidak mampu angkat suara, menyibak kabut gelap penyimpangan akidah. Sehingga tidak dijumpai perdebatan agama hingga diutusnya Rasulullah ﷺ.
____________________________
[1] Hisyam al-Kalby dalam Kitab al-Ashnam, Hal: 27-28., Ibnu Hisyam dalam as-Sirah an-Nabawiyah, 1/77., dan Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, 2/237.
[2] Orang-orang Quraisy biasa mengusapkan darah mereka di sisi berhala ini sebagai bentuk ibadah padanya. Karena itu, berhala ini juga dinamakan Berhala Darah (as-Suhail dalam ar-Raudhu al-Anfu, 4/85).
[3] al-Musyallal adalah jalan di suatu bukit menuju wilayah Qudaid.
[4] Hisyam al-Kalby dalam Kitab al-Ashnam, Hal: 14-18.
[5] Ada yang mengatakan Amr mendapat wangsit melalui mimpi ada pula dalam keadaan sadar. Ada yang menyebutkan ia bertemu dengan jin yang berujud manusia.
[6] Hisyam al-Kalby dalam Kitab al-Ashnam, Hal: 54-55. Dan Abu Ja’far al-Bahgdady dalam al-Manaq fi Akhbari Quraisy, Hal: 327-328.
[7] Hisyam al-Kalby dalam Kitab al-Ashnam, Hal: 34-43 dan Ibnu Hisyam dalam as-Sirah an-Nabawiyah, 1/80-88
[8] al-Hakim (3072). Ia mengatakan, “Hadits ini shahih sesuai dengan persyaratan Muslim. Dan disepakati oleh adz-Dzahaby.
[9] Ia memiliki pengikut dari bagnsa jin.
[10] Melarang al-Qarar. Dalam riwayat Ahmad dengan lafadz al-Firar. As-Sindi mengatakan, “Maksud dari Firar adalah lari dari medan jihad. Namun hal ini cukup meragukan karena jihad belum disyariatkan saat itu. Dalam teks yang lain menggunakan huruf qaf (ق). Wallahu a’lam.
Al-Qarar adalah tempat yang tenang, yang terdapat air. Atau tempat yang syahdu (Lisan al-Arab, 5/82).
[11] Ahmad (14878), ath-Thabrany dalam al-Mu’jam al-Ausath (765).
[12] ath-Thabary dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wilil Quran, 5/418., Ibnu Abi Hatim dalam Tafsir al-Quran al-Azhim, 3/976., Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-Azhim, 2/334.
[13] al-Bukhari dalam Kitab ath-Thalib, Bab al-Kuhanah (5429) dan Muslim dalam Kitab as-Salam, Bab Tahrim al-Kuhanah wa Ityani al-Kuhhan (2228). Lafadz ini miliki Muslim.
[14] Kharaj adalah sesuatu tuan atas budaknya. Berupa harta yang diberikan si budak kepada tuannya dari hasil pekerjaannya. Lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar, 7/154.
[15] al-Bukhari: Kitab Fadhail ash-Shahabah, Bab Ayyamul Jahiliyah (3629).
[16] Sebuah pecan raya bangsa Arab yang terletak antara Nakhlah dan Thaif.
[17] al-Bukhari: Kitab Sifattuhs Shalah, Bab al-Jahr bil Qira-ati Shalatil Fajri (739) dan Muslim: Kitab ash-Shalah, Bab al-Jahr bil Qira-ati fi Shubhi wa al-Qira-ati ala al-Jin (449). Lafadz ini milik Muslim.
[18] al-Bukhari: Kitab Fadhail ash-Shahabah, Bab Hadits Zaid bin Amr bin Nufail (3614).
______________________________
Sumber:
– http://islamstory.com/ar/الحياة-الدينية-عند-العرب-قبل-الإسلام
Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Copy of Artikel www.KisahMuslim.com

Kesetaraan Dalam Islam

Kisah Bilal bin Rabah radhiallahu ‘anhu begitu melegenda. 15 abad lalu, seorang Afrika, berkulit hitam, dan nasab non Arab diangkat derajatnya oleh Islam. Ia menjadi sahabat dekat manusia terbaik yang pernah ada, Rasulullah ﷺ. Ia pula menjadi muadzinnya kaum muslimin. Islam mengenalkan pada dunia arti sebuah kesetaraan.

Kali ini kita tidak akan berbicara tentang Bilal, karena telah kita bicarakan di tulisan tentang Bilal bin Rabah di website ini. Kita akan berbiacara tentang Qutaibah bin Muslim al-Bahili rahimahullah. Seorang pahlawan besar. Menaklukkan negeri-negeri seberang sungai di Asia Selatan, hingga Islam dari Arab mencapai daratan Cina. Ia diangkat Khalifah Abdul Malik bin Marwan rahimahullah menjadi amir daerah Ray dan Khurasan. Kemudian menguasai Thakharistan (wilayah Pakistan dan Afganistan). Lalu menguasai Bukhara di Uzbekistan. Berikutnya Sijistan, Khawarizm, dan Samarkand di jantung Asia. Hingga sampai menguasai Kota Kashgar di Cina.

Lihatlah capaiannya, ia memegang wilayah yang hari ini dipimpin oleh beberapa orang kepala negara. Tahukah Anda? Pemimpin besar ini berasal dari kabilah kelas bawah. Kabilah Bahilah.

Kedudukan Kabilah Bahilah
Kabilah Bahilah adalah kabilah rendahan dalam strata sosial masyarakat Arab. Tidak diperhitungkan dan tidak ada orang yang mau jadi bagiannya. Cukup sebuah syair, dan Anda akan tahu betapa rendah kedudukan kabilah ini. Seorang penyair mengatakan,

ولو قيل للكلب يا باهلي عوى الكلب من لوم هذا النسب
Jika ada seekor anjing dipanggil dengan ‘hai Bahili’
Dia akan menyalak, mencela nasab ini
Bayangkan! Anjing saja marah, tidak mau disebut Bahili (orang Bahilah).

Qutaibah pernah bertanya kepada Buhairah, “Apa kiranya kalau kerabatmu adalah dari Salul, jika kuganti nasabmu jadi mereka?” 

Mungkin Salul yang dimaksud Qutaibah adalah kabilah yang terdapat seorang tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul yang sangat membenci dan memusuhi Rasulullah ﷺ.
Ia menjawab, “Wahai Amir, gantilah dengan apapun yang engkau mau. Tapi jauhkan aku dari Bahilah.”

Diriwayatkan juga, Qutaibah pernah berbicara dengan Arab Badui. Ia berkata, “Maukah engkau menjadi seorang Bahili dan akan kuberikan setengah dari kekuasaan?” “Tidak mau,” jawab si Badui tanpa berpikir panjang.

“Bagaimana kalau kuberikan seluruh kekuasaan?” tanya Qutaibah menaikkan tawaran. “Tidak,” jawabnya mantab.

Qutaibah bertanya lagi, “Maukah, sekiranya menjadi seorang Bahili engkau masuk ke dalam surga?” Si Badui terdiam sesaat dan berpikir. Kemudian ia berkata, “Dengan satu syarat wahai Amir.” “Apa itu?” tanya Qutaibah. “Para penduduk surga tidak boleh tahu kalau aku adalah seorang Bahili,” jawab si Badui.

Bayangkan! Hingga demikian kedudukan bani Bahilah bagi orang-orang Arab. Seorang Arab dusun pun tak mau jadi bagian dari mereka walaupun dengan iming-iming luar biasa. Iming-iming kekuasaan besar miliki Qutaibah bin Muslim al-Bahili rahimahullah.

Qutaibah memang tidak dapat merubah nasabnya, tapi ia –atas izin Allah- merubah nasibnya (kedudukannya). Ia memiliki keistimewaan tekad, keberanian, dan ketegasan. Ia berwibawa dan ditakuti musuh. Dan di antara cucunya adalah al-Amir Said bin Muslim bin Qutaibah yang menjadi pemimpin wilayah Armenia, Mosul, Sind, dan Sijistan. Seorang penunggang kuda ulung, dermawan, dan memiliki kedudukan.

Pelajaran:
Pertama: Islam menegaskan kesetaraan antar sesama manusia. Yang membedakannya hanya takwa. Bukan suku atau warna kulit.

Kedua: Dengan kekuatan tekad dan karakter yang kuat, seseorang akan mencapai kesuksesan.

Ketiga: fanatik kesukuan atau kedaerahan adalah sesuatu yang sulit hilang dari umat Nabi Muhammad ﷺ. Rasulullah ﷺ bersabda, “Empat hal yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliyah yang susah untuk ditinggalkan: (1) membangga-banggakan kebesaran leluhur, (2) mencela keturunan, (3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan (4) meratapi mayit (niyahah)”. (HR. Muslim no. 934).

Beliau sebutkan “umatku” artinya Arab dan non Arab. Di Indonesia sendiri kita lihat masih ada orang yang menyebut-nyebut “dasar orang Sumatera, dasar orang Jawa, orang Madura, dll.” kalimat-kalimat yang mencela nasab atau kedaerahan. Ada pula yang tidak mau menikah dengan suku tertentu. Atau hanya menikah dengan suku yang sama saja.

Keempat: Khalifah Abdul Malik bin Marwan adalah seorang yang bijak. Khalifah yang dikenal sebagai ahli fikih Madinah sebelum menjabat khalifah ini, lebih mengedepankan kemampuan daripada strata sosial dalam hal jabatan.

Kelima: Jangan jadi seperti Arab badui, yang menilai prestise dari hal-hal yang zahir saja.

Keenam: Sebagai perbandingan betapa Islam begitu cepat merubah keadaan suatu kaum, dalam hal ini Arab. Dari memuja nasab kemudian menjadi bangsa beradab dan menghargai kesetaraan. Kita jadikan Amerika sebagai perbandingan. Amerika merdeka tahun 1776, dan orang kulit hitam (nasab rendahan menurut Amerika) baru bisa memimpin tahun 2009, artinya butuh 200 tahun lebih bagi demokrasi untuk mengedukasi masyarakat Amerika dalam memahami hal ini.


Sumber:
– Siyar A’lamin Nubala: http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?ID=610&bk_no=60&flag=1

Copy of Artikel Kisahmuslim.com

Nasehat Bagi Mereka Yang Suka Menjatuhkan Kehormatan Para Da’i Ilallah

stop

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
Pertanyaan :
Akhir-akhir ini nampak banyak orang menjatuhkan kehormatan para da’i, membagi mereka dalam kelompok-kelompok dan memasukkan mereka ke dalam berbagai golongan. Apa pandangan Anda tentang hal ini?
Jawaban :
Alhamdulillah,
Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla memerintahkan untuk berbuat adil dan ihsan, melarang kezhaliman, melampaui batas, dan permusuhan. Allah Ta’ala telah mengutus Nabi kita Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan risalah yang telah dibawa oleh seluruh Rasul yaitu mendakwahkan tauhid dan memurnikan peribadatan hanya kepada Allah semata. Dia memerintahkan untuk menegakkan keadilan dan melarang hal yang berkebalikan dengannya yaitu peribadatan kepada selain Allah, berpecah-belah, dan melanggar hak-hak hambaNya.
Telah tersebar di zaman ini, banyak orang yang menisbatkan diri kepada ilmu dan dakwah yang mengajak kepada kebaikan, mereka menjatuhkan kehormatan saudara-saudara mereka dari kalangan da’i yang telah masyhur dikenal oleh ummat. Mereka membicarakan tentang kehormatan para penuntut ilmu, para da’i, dan penceramah. Terkadang mereka melakukan perbuatan tersebut secara rahasia dalam majelis-majelis mereka, terkadang merekam dalam kaset yang disebarluaskan kepada banyak orang, terkadang dalam bentuk terang-terangan berupa ceramah umum di masjid-masjid.
Perbuatan ini telah menyelisihi perintah Allah dan RasulNya dalam beberapa aspek berikut ini :
  1. Perbuatan ini melanggar hak-hak kaum muslimin, bahkan melanggar hak pribadi-pribadi yang semestinya dihormati, yaitu para penuntut ilmu dan da’i yang telah mencurahkan tenaganya untuk membimbing manusia, meluruskan mereka dalam aqidah dan manhaj, bersungguh-sungguh dalam menyelenggarakan kajian-kajian, ceramah-ceramah, dan menyusun kitab-kitab yang bermanfaat.
  2. Perbuatan ini merupakan bentuk memecah-belah persatuan dan mengoyak barisan kaum muslimin. Padahal mereka (kaum muslimin) sangat butuh untuk bersatupadu, menjauhi perpecahan dan penyebaran desas-desus di antara mereka. Terlebih bahwasanya para da’i yang menjadi sasaran adalah para da’i ahlus sunnah wal jama’ah yang dikenal memerangi berbagai bid’ah dan khurafat, berhadapan langsung dengan para penyeru kebid’ahan, dan yang membongkar berbagai langkah dan kekeliruan mereka. Kami berpandangan tidak ada maslahat dalam perbuatan tersebut kecuali justru menguntungkan orang kafir, munafiq, atau ahli bid’ah dan kesesatan.
  3. Perbuatan ini (secara tidak langsung) adalah dukungan dan pertolongan kepada musuh, seperti kaum sekuler, orientalis, dan selain mereka dari kalangan atheis yang terkenal memusuhi dakwah, mendustakan dan memprovokasi untuk melawan kitab-kitab dan rekaman-rekaman para da’i tersebut. Tentu bukanlah perwujudan menunaikan hak-hak saudara dalam Islam, ketika kalangan tersebut membantu para pihak musuh dalam memusuhi saudara mereka sendiri, para da’i dan penuntut ilmu.
  4. Perbuatan ini merusak hati orang-orang, baik mereka yang awam maupun yang terhormat, melalui penyebaran berita-berita dusta dan batil, serta menjadi sebab merebaknya ghibah, dan namimah (adu domba), membuka berbagai pintu kejelekan untuk dihidangkan kepada mereka yang berhati lemah, yang gemar menebar syubhat, memprovokasi terjadinya fitnah, dan menyakiti kaum mukmini dengan sesuatu yang tidak dilakukan oleh mereka.
  5. Mayoritas perkataan yang menjadi obyek desas-desus tidak riil terjadi, namun hanya khayalan/dugaan yang dihiasi setan kepada para pelaku sehingga dirinya terpedaya. Padahal sungguh Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
    يا أيها الذين آمنوا اجتنبوا كثيراً من الظن إن بعض الظن إثم ولا تجسسوا ولا يغتب بعضكم بعضاً …
    Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah sebagian besar prasangka karena sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kalian memata-matai dan saling mengghibah di antara kalian” (QS Al Hujuraat : 12).
    Seorang mukmin hendaknya memaknai perkataan saudaranya sesama muslim dengan makna yang paling baik. Di antara ulama salaf ada yang berkata,
    لا تظن بكلمة خرجت من أخيك سوءً وأنت تجتهد لها في الخير محملاً
    “Jangan berprasangka buruk atas perkataan yang diucapkan saudaramu sementara engkau mampu untuk bersungguh-sungguh memaknainya dengan makna yang baik
  1. Ijtihad sebagian ulama dan penuntut ilmu dalam perkara ijtihadiyah tidaklah tercela apabila mereka memang layak untuk berijtihad. Apabila pihak lain menyelisihi mereka dalam suatu perkara, maka tindakan yang patut ditempuh adalah berdebat dengan cara yang paling baik, dengan motif semangat mencari kebenaran, menghindari waswas dan provokasi yang dihembuskan setan di antara kaum mukminin.
Apabila menemui kesulitan dalam melakukan hal tersebut, sementara penyimpangan tersebut harus dijelaskan maka hendaknya dilakukan dengan ungkapan dan diksi yang baik dan lembut, tanpa menyerang, memboikot, atau melampaui batas dalam dalam berkata-kata yang justru akan membuat pihak yang dibantah menolak atau berpaling dari kebenaran.
Selain itu, bantahan juga dilakukan tanpa menyerang secara personal, atau memvonis niat, atau menambah-nambah perkataan (doyan dengan desa-desus). Dahulu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menyindir perbuatan tersebut dengan berkata,
ما بال أقوام قالوا كذا وكذا 
Ada apa dengan sekelompok orang yang gemar berkata begini dan begitu
Maka aku nasihatkan kepada saudaraku sekalian yang menjatuhkan kehormatan para da’i dan yang terpengaruh dengan mereka agar bartaubat kepada Allah Ta’ala atas tulisan dan ucapan mereka yang menjadi sebab rusaknya hati sebagian pemuda sehingga terisi dengan dendam dan kebencian, menyibukkan mereka dari menuntut ilmu yang bermanfaat dan berdakwah kepada Allah Ta’ala namun hakekatnya justru sibuk menyampaikan kabar burung, membicarakan fulan (ghibah), serta terobsesi mencari-cari kesalahan orang lain untuk dikritisi dan dipojokkan.
Demikian juga aku nasihatkan kepada mereka untuk memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat melalui media tulisan atau yang lain sehingga beban tanggung jawab atas kesalahan tersebut terlepas dari diri mereka dan menghilangkan desas-desus yang telah terekam dalam benak orang-orang yang terpengaruh dengan ucapan mereka. Hendaknya mereka dapat memfokuskan diri untuk melakukan berbagai ibadah yang produktif, yang dapat mendekatkan diri kepada Allah dan mendatangkan manfaat bagi hamba. Hendaknya mereka juga berhati-hati, tidak tergesa-gesa dalam memvonis kafir, fasiq, bid’ah, atau selainnya tanpa dukungan bukti. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan dengan sabdanya,
من قال لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما
Barangsiapa berkata pada saudaranya ‘Hai Kafir!’ maka perkataan tersebut akan jatuh kepada salah satu dari keduanya (yaitu bila vonisnya keliru, akan kembali pada yang mengucapkannya-pent)” (Muttafaqun ‘alaih).
Termasuk hal yang disyariatkan bagi para da’i penyeru kebenaran dan penuntut ilmu, apabila mereka merasa ganjil dengan perkataan seorang ulama atau selainnya, hendaklah mereka merujuk pada ulama yang mu’tabar (diakui) dengan tujuan meminta mereka untuk menjelaskan kebenaran, memahamkan hakikat perkara tersebut, dan menghilangkan keraguan dan syubhat yang terdapat dalam hati sebagai bentuk pengamalan firman Allah ‘azza wa jalla dalam surat An Nisaa’ ayat 83,
إذا جاءهم أمر من الأمن أو الخوف أذاعوا به ولو ردوه إلى الرسول وإلى أولي الأمر منهم لعلمه الذين يستنبطونه منهم ولولا فضل الله عليكم ورحمته لاتبعتم الشيطان إلا قليلاً
Dan apabila datang kepada mereka berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya. Kalau bukan karena karunia dan rahmat Allah pada kamu, tentulah kamu mengikuti syaithan, kecuali sebagian kecil saja diantaramu”.
Hanya kepada Allah kita memohon untuk memperbaiki keadaan kaum muslimin seluruhnya, menyatukan hati dan amalan mereka di atas ketakwaan, memberikan taufik kepada ulama kaum muslimin dan para da’i yang menyeru kepada kebenaran untuk melakukan segala sesuatu yang Dia ridhai dan bermanfaat bagi para hambaNya. Semoga Allah menyatukan barisan mereka di atas petunjuk dan menjaga mereka dari berbagai sebab yang mengantarkan pada perpecahan.
Semoga Allah menjadikan diri mereka sebagai sebab agar kebenaran dapat ditegakkan dan kebatilan dapat dihancurkan. Sungguh Allah adalah Dzat yang Maha Memberi Pertolongan dan Maha Berkuasa untuk melakukan hal tersebut.
وصلى الله وسلم على نبينا محمد وآله وصحبه ، ومن اهتدى بهداه إلى يوم الدين
Sumber : Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah lis Samahatis Syaikh ‘Abdul ‘Aziz ibn ‘Abdullah ibn Baz rahimahullahu ta’ala, vol. 7 hal, 311.
***
Penerjemah : Yhougha Ariesta Moppratama
Copy of Artikel Muslim.or.id