Kisah Bilal bin Rabah radhiallahu ‘anhu
begitu melegenda. 15 abad lalu, seorang Afrika, berkulit hitam, dan
nasab non Arab diangkat derajatnya oleh Islam. Ia menjadi sahabat dekat
manusia terbaik yang pernah ada, Rasulullah ﷺ. Ia pula menjadi
muadzinnya kaum muslimin. Islam mengenalkan pada dunia arti sebuah
kesetaraan.
Kali ini kita tidak akan berbicara tentang Bilal, karena telah kita
bicarakan di tulisan tentang Bilal bin Rabah di website ini. Kita akan
berbiacara tentang Qutaibah bin Muslim al-Bahili rahimahullah.
Seorang pahlawan besar. Menaklukkan negeri-negeri seberang sungai di
Asia Selatan, hingga Islam dari Arab mencapai daratan Cina. Ia diangkat
Khalifah Abdul Malik bin Marwan rahimahullah menjadi amir
daerah Ray dan Khurasan. Kemudian menguasai Thakharistan (wilayah
Pakistan dan Afganistan). Lalu menguasai Bukhara di Uzbekistan.
Berikutnya Sijistan, Khawarizm, dan Samarkand di jantung Asia. Hingga
sampai menguasai Kota Kashgar di Cina.
Lihatlah capaiannya, ia memegang wilayah yang hari ini dipimpin oleh
beberapa orang kepala negara. Tahukah Anda? Pemimpin besar ini berasal
dari kabilah kelas bawah. Kabilah Bahilah.
Kedudukan Kabilah Bahilah
Kabilah Bahilah adalah kabilah rendahan dalam strata sosial
masyarakat Arab. Tidak diperhitungkan dan tidak ada orang yang mau jadi
bagiannya. Cukup sebuah syair, dan Anda akan tahu betapa rendah
kedudukan kabilah ini. Seorang penyair mengatakan,
ولو قيل للكلب يا باهلي عوى الكلب من لوم هذا النسب
Jika ada seekor anjing dipanggil dengan ‘hai Bahili’
Dia akan menyalak, mencela nasab ini
Dia akan menyalak, mencela nasab ini
Bayangkan! Anjing saja marah, tidak mau disebut Bahili (orang Bahilah).
Qutaibah pernah bertanya kepada Buhairah, “Apa kiranya kalau kerabatmu adalah dari Salul, jika kuganti nasabmu jadi mereka?”
Mungkin Salul yang dimaksud Qutaibah adalah kabilah yang terdapat
seorang tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul yang sangat membenci
dan memusuhi Rasulullah ﷺ.
Ia menjawab, “Wahai Amir, gantilah dengan apapun yang engkau mau. Tapi jauhkan aku dari Bahilah.”
Diriwayatkan juga, Qutaibah pernah berbicara dengan Arab Badui. Ia
berkata, “Maukah engkau menjadi seorang Bahili dan akan kuberikan
setengah dari kekuasaan?” “Tidak mau,” jawab si Badui tanpa berpikir
panjang.
“Bagaimana kalau kuberikan seluruh kekuasaan?” tanya Qutaibah menaikkan tawaran. “Tidak,” jawabnya mantab.
Qutaibah bertanya lagi, “Maukah, sekiranya menjadi seorang Bahili
engkau masuk ke dalam surga?” Si Badui terdiam sesaat dan berpikir.
Kemudian ia berkata, “Dengan satu syarat wahai Amir.” “Apa itu?” tanya
Qutaibah. “Para penduduk surga tidak boleh tahu kalau aku adalah seorang
Bahili,” jawab si Badui.
Bayangkan! Hingga demikian kedudukan bani Bahilah bagi orang-orang
Arab. Seorang Arab dusun pun tak mau jadi bagian dari mereka walaupun
dengan iming-iming luar biasa. Iming-iming kekuasaan besar miliki
Qutaibah bin Muslim al-Bahili rahimahullah.
Qutaibah memang tidak dapat merubah nasabnya, tapi ia –atas izin
Allah- merubah nasibnya (kedudukannya). Ia memiliki keistimewaan tekad,
keberanian, dan ketegasan. Ia berwibawa dan ditakuti musuh. Dan di
antara cucunya adalah al-Amir Said bin Muslim bin Qutaibah yang menjadi
pemimpin wilayah Armenia, Mosul, Sind, dan Sijistan. Seorang penunggang
kuda ulung, dermawan, dan memiliki kedudukan.
Pelajaran:
Pertama: Islam menegaskan kesetaraan antar sesama manusia. Yang membedakannya hanya takwa. Bukan suku atau warna kulit.
Kedua: Dengan kekuatan tekad dan karakter yang kuat, seseorang akan mencapai kesuksesan.
Ketiga: fanatik kesukuan atau kedaerahan adalah
sesuatu yang sulit hilang dari umat Nabi Muhammad ﷺ. Rasulullah ﷺ
bersabda, “Empat hal yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan
jahiliyah yang susah untuk ditinggalkan: (1) membangga-banggakan kebesaran leluhur, (2) mencela keturunan, (3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan (4) meratapi mayit (niyahah)”. (HR. Muslim no. 934).
Beliau sebutkan “umatku” artinya Arab dan non Arab. Di Indonesia
sendiri kita lihat masih ada orang yang menyebut-nyebut “dasar orang
Sumatera, dasar orang Jawa, orang Madura, dll.” kalimat-kalimat yang
mencela nasab atau kedaerahan. Ada pula yang tidak mau menikah dengan
suku tertentu. Atau hanya menikah dengan suku yang sama saja.
Keempat: Khalifah Abdul Malik bin Marwan adalah
seorang yang bijak. Khalifah yang dikenal sebagai ahli fikih Madinah
sebelum menjabat khalifah ini, lebih mengedepankan kemampuan daripada
strata sosial dalam hal jabatan.
Kelima: Jangan jadi seperti Arab badui, yang menilai prestise dari hal-hal yang zahir saja.
Keenam: Sebagai perbandingan betapa Islam begitu
cepat merubah keadaan suatu kaum, dalam hal ini Arab. Dari memuja nasab
kemudian menjadi bangsa beradab dan menghargai kesetaraan. Kita jadikan
Amerika sebagai perbandingan. Amerika merdeka tahun 1776, dan orang
kulit hitam (nasab rendahan menurut Amerika) baru bisa memimpin tahun
2009, artinya butuh 200 tahun lebih bagi demokrasi untuk mengedukasi
masyarakat Amerika dalam memahami hal ini.
Sumber:
– Siyar A’lamin Nubala: http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?ID=610&bk_no=60&flag=1
– Siyar A’lamin Nubala: http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?ID=610&bk_no=60&flag=1
Copy of Artikel Kisahmuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar